Jalan-Jalan Ke Museum Kematian Departemen Antropologi

Selayaknya alphabetycal, dimana antara B dan D adalah C, maka, begitupula hidup manusia, dimana antara birth and death ada choice atau pilihan, untuk menjadi orang baik semasa hidup atau orang yang buruk. Manusia tidak akan takut pada kematian selama dia memegang ajaran kepercayaannya dengan baik, karana ia akan selalu tau bahwa kematian bukan akhir dari perjalanan hidupnya, akan ada perjalanan selanjutnya pasca ia menyapa kematian itu sendiri. Apa yang ada dalam bayangan anda bila mendengar kata “Museum Kematian”?  Seram? Aneh? Buat apa, toh manusia memang seharusnya mati?. Pemikiran semacam itu memang akan sekilas ada di kognisi kita, tapi tidak ada salahnya untuk belajar dan menjelajah sedikit tentang kematian bersama Museum Etnografi yang ada Jalan Darmawangsa Dalan, tepatnya di Gedung B, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya. Didirikan pada 25 September 2005, awalnya museum etnografi ini digunakan untuk mewadahi koleksi benda purbakala, hasil kebudayaan dan fosil yang dimiliki Departemen Antropologi Unair.

Museum Etnografi sudah mengalami tiga kali perombakan dan terakhir sudah dibuka kembali pada 20 Februari 2018. Mengangkat konsep dan story line tentang kematian, membuat museum ini enggan untuk menggunaan paradigma lama tentang museum, yakni benda yang dipamerkan kemudian diberi label, Museum Etnografi ini menggunakan infografis dalam penyampaian segala hal tentang kematian dan budaya kematian di Indonesia agar pengunjung lebih mudah menangkap cerita dari kebudayaan dan segala hal yang berhubungan dngan kematian. Desain yang unik dari museum ini merupakan hasil kerjasama dengan tim dari Kementrian Kebudayaan RI. Merujuk pada PP Nomor 66 Tahun 2015, Museum Etnografi sudah hampir mencapai standart museum, museum ini sudah punya tempat,  punya koleksi, dan juga ada dananya, selain itu fasilitas lain seperti storage, laboratoriun, dan auditorium dan yang pasti ruang pamer juga dimiliki oleh Museum Etnografi ini. Koleksi yang dimiliki oleh Museum ini berasal dari bermacam-macam sumber, seperti  hibah dari Pak Adi Sukadana Dekan FISIP UNAIR, milik Departemen Antropologi hasil kuliah lapangan mahasiswa, dan hibah dari kepolisisan hasil kerjasama untuk pendidikan.

Masuk kedalam museum, anda akan memasuki ruang pamer utama, disegala sisi, mulai dari dinding, ubin, melayang di udaram sampai atap ruang pertama ini, anda dapat menikmati penyampaian informasi dan koleksi yang disajikan dengan tidak membosankan. Masuk lebih dalam adalah ruang refleksi, sebelahnya lagi crime scene, belakang sendiri ruang rekreasi, dalam ruang rekreasi anda akan melihat model-model pemakaman dari sistem kepercayaan yang ada di Indonesia, ada “mummi” yang dipamerkan dengan menggunakan baju dan atribut yang menarik dan terkesan tidak menyeramkan, juga disediakan kostum dan atribut untuk pengunjung yang ingin berpose ala gothic didalam museum etnografi ini.

Museum yang dikepalai oleh Ibu Toetik Kosbardiati atau yang lebih akrab dipanggil Bu Tok, dosen Antropologi Ragawi Universitas Airlangga, dibantu oleh beberapa pengurus Museum Etnografi seperti kurator atau pengawas institusi warisan budaya atau seni yang harus mengetahui segala macam koleksi yang ada, registrat harus tau dimana letak dan jumlah koleksi museum, edukator bertugas pada saat ada pengunjung, dia yang akan menjelaskan tentang koleksi dan infografis museum Etnografi, tata pamer bertugas Museum Etnografi diundang pameran di tempat lain, dia yang akan memilih dan menata koleksi untuk dipamerkan, serta menata koleksi dan merubah tata letak koleksi sekitar tiap 1-2 tahun, agar menghindari kebosanan,  kebanyakan yang membantu Bu Tok dalam mengelolah museum ini berasal dari mahasiswa Antropologi Ragawi di Universitas Airlangga.

Dewasa ini, ritus kematian di Indonesia sudah sebagian besar direduksi agar memotong pengeluaran keluarga, seperti yang kita tahu, ritus kematian di berbagai suku, sebut saja Toraja, Bali, Jawa, sampai Tionghoa, dapat mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Di Bali, dulu Ngaben dilakukan per-individu, sekarang sudah ada Ngaben masal, si Toraja dan etnis Tionghoa beberapa sudah mulai memotong beberapa rangkaian upacara kematiannya, tanpa menghilangkan yang pakem dari ritus kematian itu sendiri.

Selanjutnya, Museum Etnografi akan selalu berbenah, penambahan fasilitas seperti ruang pamer temporer, secepatnya akan dilakukan, Kementrian Kebudayaan juga mendukung berkembangnya museum-museum di Indonesia baik dengan bantuan materi maupun ide. Semoga Museum Etnografi ini bisa menjadi salah-satu museum percontohan dengan paradigma baru dan menjadi refleksi setiap pengunjungnya.

Penulis : Arinta Livya N

Editor : Prasida Rageisna H

Share